أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلَا
يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Alloh(yang tidak
terduga-duga)? Tiada yang merasa aman
dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.
Dari pemaparan diatas dapat kita fahami
bahwa ‘ujub yaitu suatu sikap membanggakan diri, dengan memberikan satu
penghargaan yang terlalu berlebihan kepada kemampuan diri dalam hal
menghindar dari siksa neraka. Sikap ini tercermin pada rasa tinggi diri
dalam bidang keilmuan, amal perbuatan ataupun
kesempurnaan moral. Sehingga sampai pada sebuah kesimpulan sudah tidak
memperdulikan bahwa sebenarnya Allah-lah yang membuat kebaikan ataupun
keburukan, serta Dia-lah yang melimpahkan kenikmatan yang nyata.
Maka dari itu, Allah kembali
mengingatkan kepada orang-orang yang beriman mengenai sifat ‘ujub ini
dalam surah Al-An’am ayat 82:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ
“ Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka
itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
Pendapat Syaikh Ahmad Rifai seiring
dengan hadith Nabi SAW yang diriwatakan oleh Imam Tabrani,
sebagaimana yang telah di kutip oleh Imam al-Ghazali,
yaitu:
“Tiga perkara yang membinasakan yaitu:
kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman(takjub) seseorang
kepada dirinya sendiri (‘Ujub)”.
Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada
seorang yang terkena penyakit ‘ujub, akhirnya ia tergelincir dalam
kesalahan karena terlalu ujub terhadap dirinya sendiri. Ada sebuah
pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual
mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam Syafi’i pun membantahnya
seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa yang
mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah SWT akan
menjatuhkan martabatnya.”
Orang yang terkena penyakit ujub akan
memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya serta menganggapnya bagai
angin lalu. Nabi SAW telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadist:
“Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang
hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan
mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan
duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR.
Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi
menjelaskan ‘ujub sebagai berikut: “ Menganggap hanya amalanmu saja
yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Sufyan Ats-Tsauri
meringkas makna ‘ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap
diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada
yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal
saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari
perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”.
Al-Fudhail bin Iyadh
berkata:
إذْظَفَرَ اِبْلِيْسُ مِنْ اِبْنِ
آدَمَ بِاِحْدَىْ ثَلاَثٍ خِصَالٍ قَالَ: لاَأطْلُبُ غَيْرَهَا: إعْجَابُهُ
بِنَفْسِهِ،
وَاسْتِكْثَارُهُ عَمَلَهُ،
وَنِسْيَانُهُ ذُنُوْبَهُ
“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani
Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ‘ujub terhadap diri
sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya.
Dia (Iblis) berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara
di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam
karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit
‘ujub?
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan
bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan!
Maka AllahSWT berfirman: “Siapakah yang lancang bersumpah atas
nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah
mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Lebih jauh, Syaikh
Ahmad Rifa’I menukil dari pendapat Imam al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Diin, Jilid III halaman
390-391,
yaitu:
وَحَقِيْقَةُ الْعُجْبِ تَكَبُّرٌ
يَحْصُلُ فِى الْبَاطِنِ بِتَحَيُّلِ كَمَالٍ مِنْ عِلْمٍ وَعَمَلٍ ,
فَإِنْ كَانَ خَائِفًا عَلَى زَوَالِهِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْجِبٍ . وَإِنْ
كَانَ يَفْرَحُ بِكَوْنِهِ نِعْمَةً مِنَ اللهِ فَهُوَ لَيْسَ مُعْجِبًا
بَلْ هُوَ مَسْرُوْرٌ بِفَضْلِ اللهِ, وَإِنْ كَانَ نَاظِرًا إِلَيْهِ مِنْ
حَيْثُ هُوَ صِفَةٌ غَيْرَ مُلْتَفِتٍ إِلَى إِمْكَانِ الزَّوَالِ وَلَا
إِلَى الْمُنْعِمِ بِهِ إِلَى صِفَةِ نَفْسِهِ فَهَذَا الْعُجْبُ وَهُوَ
مِنَ الْمُهْلِكَاتِ وَعِلاَجُهُ أَنْ يَتَأَمَّلَ فِى الْعَاقِبَةِ,
وَأَنَّ بَلْعَامَ كَيْفَ خُتِمَ بِالْكُفْرِ وَكَذَلِكَ إِبْلِيْسَ,
فَمَنْ تَأَمَّلَ فِى إِمْكَانِ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ وَإِنَّهُ مُمْكِنٌ
فَلاَ يَعْجُبُ بِشَيْئٍ مِنْ صِفَاتِهِ .
“Bahwa hakikat ‘ujub adalah kesombongan
yang terjadi dalam diri seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan
amal dan ilmunya. Apabila seseorang merasa takut kesempurnaan (ilmu
dan amalnya), itu akan dicabut oleh Allah, maka berarti ia tidak
bersifat ‘ujub.
Demikian juga apabila ia merasa gembira
karena menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan merupakan suatu nikmat
dan karunia Allah, maka ia juga bukan masuk ke dalam jenis ‘ujub.
Akan tetapi sebaliknya, apabila ia
menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa
memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan itu lenyap, serta tidak
pernah memikirkan siapa Sang pemberi kesempurnaan tersebut, maka inilah
yang dinamakan ‘ujub. Sifat ini sangat membahayakan bagi setiap manusia,
karena ia mengajak kepada lupa dosa-dosa yang telah dibuatnya dan
mengesampingkan (acuh) terhadap dosa-dosa yang telah
diperbuatnya. Satu-satunya jalan untuk terhidar dari sifat ‘ujub ini,
kita selalu mencoba mengingat kembali apa yang telah kita lakukan supaya
cepat kembali ke pangkal jalan (insyaf), sebagaimana Ulama
Bal’am dan Iblis La’natullah ‘alaih yang
ibadahnya sudah mencapai ribuan tahun pun pengakhiran hidupnya dengan
pengakhiran yang buruk (Su’u al-Khotimah),
Karena, sifat ‘ujub menjadikan hati seorang mukmin menjadi ingkar akan
segala nikmat yang telah Allah berikan padanya (kufr
al-nikmat).”
Supaya kita lebih memahami makna yang
tersirat dari perkataan Imam al-Ghazali di atas, para ulama ahli sufi
dengan jelas memberikan suatu gambaran kepada kita, yaitu:
لَا تُفَرِّحْكَ الطَّاعَةُ
لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنْكَ لِأَنَّهُ يُوْرِثُ الْعُجْبَ وَالْكِبْرَ
وَإِهْمَالَ الشُّكْرِ
وَافْرَحْ بِهَا لِأَنَّهَا
بَرَزَتْ مِنَ اللهِ إِلَيْكَ قُلْ بِفَضْلِ اللهِ الْإِسْلاَمِ
وَبِرَحْمَتِهِ الْقُرْأَنِ
فَبِذَالِكَ الْفَضْلُ
وَالرَّحْمَةُ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ .
“Jangan sesekali merasa diri kita paling
taat kepada-Nya, karena ia dapat membawa malapetaka, seperti menganggap
diri kita yang paling mulya (‘ujub), takabbur kemudian lupa akan segala
nikmat-nikmat-Nya. Dan merasa-lah dalam hati kita, bahwa ketaatan itu
sejatinya merupakan pemberian Allah semata, dengan petunjuk-Nya telah
memberikan satu karunia cahaya ke-Islam-an dan iman yang diridhai-Nya,
dengan kasih sayang-Nya turunlah Al-Quran sebagai pedoman sehingga kita
mampu membedakan mana yang hak dan yang bathil, dengan demikian,
merasalah bergembira dalam hati atas segala anugerah yang telah Allah
limpahkan kepada kita.”
Sebab-Sebab ‘Ujub:
1. Faktor Lingkungan dan
Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat
seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan
polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan
keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap
senang dipuji, selalu menganggap diri suci dan sebagainya.
2. Sanjungan dan Pujian yang
Berlebihan
Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan
etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقُ
صَاحِبَكَ
“Celakalah engkau, engkau telah
memotong leher sahabatmu”. (Muttafaq ‘alahi)
Seringkali kita temui sebagian orang
yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang
dipuji lupa diri. Pujian adalah fatamorgana
yang dihajatkan oleh nafsu.
At-Tsauri berkata:
فَاِنْ لَمْ تَكُنْ مُعْجِبًا
بِنَفْسِكَ فَإِيَّاكَ اَنْ تُحِبَّ مَحْمَدَةَ النَّاسِ وَمَحْمَدَتُهُمْ
اَنْ تُحِبَّ اَنْ يُكَرِّمُوْكَ بِعَمَلِكَ، وَيَرَوْا لَكَ بِهِ شَرَفًا
وَمَنْزِلَةً فِى صُدُوْرِهِمْ
“Apabila kamu sudah tidak ‘ujub pada
diri, kamu juga mesti menjauhi sifat ‘suka dipuji’. Bukti bahwa kamu
suka pujian orang adalah bahwa kamu ingin agar mereka menghormati kamu
kerana sesuatu amal yang kamu lakukan dan supaya mereka mengetahui
kemuliaan dan kedudukan kamu di hadapan mereka”.
Pujian ditujukan kepada kerja yang kita
lakukan atau ucapan yang telah kita sampaikan. Orang memuji mempunyai
tujuan tertentu, sedangkan kita sendiri mengetahui hakikat sebenarnya
apa yang ada pada diri kita, tetapi kita lupa atau terpedaya.
Fudhail bin ‘Iyadh mengemukakan
parameter supaya kita dapat mengukur dan mengetahui hakikat diri
sendiri:
إِنَّ مِنْ عَلاَمَةِ
الْمُنَافِقِ اَنْ يُحِبَّ الْمَدْحَ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ،
وَيَكْرَهَ الذَّمِّ بِمَا
فِيْهِ، وَيَبْغَضَ مَنْ يَبْصُرُهُ بِعُيُوْبِهِ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda
orang munafik adalah bahwa ingin mendapat pujian dengan perkara yang
tidak ada padanya, sedangkan ia membenci terhadap celaan yang ada pada
dirinya, dia marah kepada orang yang memandang berbagai kekurangan yang
ada pada dirinya”.
3. Bergaul Dengan Orang yang
Terkena Penyakit Ujub.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang
akan mengikuti tingkah laku temannya. Rasulullah SAW bersabda:
“Perumpamaan teman yang shalih dan
teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual
minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Bukhari Muslim)
Teman akan membawa pengaruh yang besar
dalam kehidupan
seseorang.
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada
Allah SWT
Begitu banyak nikmat yang diterima
seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah SWT yang telah memberinya
nikmatnya. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ‘ujub, ia
membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan.
Allah SWT telah menceritakan kepada kita kisah
Qarun:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى
عِلْمٍ عِنْدِي …..
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku
hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash:
78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam
Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Pada hari ini kita banyak mengeluhkan
masalah yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini
banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata
pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang
yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia.
Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama
padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang
banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu.
Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal tersebut. Yaitu dengan
memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini,
masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh
yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu
bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang
lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari
orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku
tidak tahu!”. Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah
pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya
beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara
mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian
mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul
oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya.
Mengapa? Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan
pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun
lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan
Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya seorang insan benar-benar
merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi
manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ‘ujub. Ia pasti
meminta kepada Allah SWT agar dihindarkan dari penyakit ujub
sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang
ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:
“Hai orang yang pongah dalam
keangkuhannya.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab
kotoran itu selalu hina.
Sekiranya manusia merenungkan apa
yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan
menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.
Apakah ada anggota tubuh yang lebih
dimuliakan selain kepala?
Namun demikian, lima macam
kotoranlah yang keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga
baunya tengik.
Tahi mata berselemak sementara dari
mulut mengalir air liur.
Hai bani Adam yang berasal dari
tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan),
karena engkau bakal menjadi santapan kelak.
Penyair ini mengingatkan kita pada asal
muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesudahan hidup
mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya
ia berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang
kotor sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.
7. Berbangga-bangga Dengan
Nasab dan Keturunan
Seorang insan terkadang memandang mulia
diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap
dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan.
Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak
mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak ragu lagi, ini merupakan
penyebab utama datangnya penyakit ‘ujub.
Dalam sebuah kisah pada zaman khalifah
Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin
Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Bait Al-Haram. Sewaktu
tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak
kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya,
Jabalah langsung melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga
terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada sayyidina Umar
dan mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar pun memanggil Jabalah lalu
berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah
membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini
seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!”
Umar menjawab: “Islam telah
menyamaratakan antara kalian berdua di hadapan hukum!” Tidakkah engkau
ketahui bahwa: Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda
Parsi, dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena
syirik yang dilakukannya. Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih
untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu
untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari.
Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia
menyesali perbuatannya itu.
8. Berlebih-lebihan Dalam
Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasul SAW
melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam
sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:“Barangsiapa
yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia
untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi,
beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasul bersabda:
“Janganlah kamu berdiri menyambut
seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu
‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang
Timbul dari Penyakit ‘Ujub
Sekiranya seorang insan menyadari bahwa
ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan
menyadari bahwa ‘ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak
akan kuasa bersikap ‘ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasul:”Sesungguhnya
seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan
semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya:
“Wahai Rasul, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya
bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?”
Rasul menjawab: “Sesungguhnya Allah
itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah
menolak kebenaran
dan merendahkan orang lain.”
(HR. Muslim dari Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dampak ujub
1. Jatuh dalam
jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
2. Dijauhkan dari
pertolongan Allah. sebagaimana firmannya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang berjihad (untuk
mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)
3. Terpuruk dalam
menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan dan musibah datang menerpa,
orang-orang yang terjangkiti penyakit ‘ujub akan berteriak: ‘Oh kawan,
carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang
yang teguh di atas perintah Allah SWT, mereka tidak akan melanggar
rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib karramallahu
wajhahu:
Siapakah yang mampu lari dari hari
kematian?
Bukankah hari kematian hari yang
telah ditetapkan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan,
tentu aku dapat lari darinya.
Namun siapakah yang dapat menghindar
dari takdir?
4. Dibenci dan dijauhi
orang-orang. Tentu saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia
memperlakukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik,
niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya.
Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ
فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Apabila kamu dihormati dengan suatu
penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik,
atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’:
86)
Namun seseorang kerap kali meremehkan
orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan
dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana
kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain
juga akan menyepelekanmu’
5. Azab dan pembalasan
cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena penyakit ujub pasti akan
merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam hadits disebutkan:
“Ketika seorang lelaki berjalan
dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia
takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia
terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.”
(HR. Al-Bukhari)
Hukuman ini dirasakannya di dunia
akibat sifat ‘ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di dunia,
yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang
menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si
Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah SWT mengampuni si Fulan dan
menghapus amalnya sendiri.
Dengan begitu kita harus berhati-hati
dari sifat ‘ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada
orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang
menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.
Penjelasan mengenai ‘ujub diatas
mengandung muatan kritik terhadap 3 kalangan:
-
Orang yang mengaku suci tetapi amaliyah syariatnya masih banyak
kekurangan. Mereka berbicara tentang upaya membersihkan hati namun masih
belum sah dalam melaksanakan shalat (dengan tidak mengetahui
syarat-rukun dan batal dalam urusan shalat).
-
Orang yang mengaku alim padahal belum sah iman dan shalatnya. Dalam
dirinya merasa paling benar sedangkan sebenarnya dia mengikut kehendak
syaitan dengan melakukan tindakan ‘ujub serta takabbur tetapi tidak
diketahuinya.
-
Guru yang munafik yaitu orang-orang yang sebenarnya bodoh tetapi
karena takabbur dia mengaku menjadi guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar