Lupa dan Melupakan
Salah satu ungkapan yang sering kita dengar atau bisa jadi sering kita ucapkan adalah bahwa manusia tidak luput dari salah dan lupa. Namun ungkapan semacam itu tidak boleh membuat manusia merasa wajar-wajar saja bila melakukan kesalahan dan menjadikan lupa sebagai alasan yang wajar bila tidak melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan atau tidak meninggalkan sesuatu yang semestinya ditinggalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan menunjukkan bahwa begitu banyak manusia yang menjadikan kata lupa sebagai alasan bila ia tidak melakukan apa yang semestinya dilakukan dan orang lain yang dirugikanpun tidak bisa mempersoalkannya bahkan terpaksa memakluminya. Dalam konteks inilah seharusnya seseorang berlaku jujur sehingga bila ia memang sebenarnya lalai seharusnya mengakui saja kelalaiannya itu.
Di dalam Al Qur’an Allah swt mengemukakan kata lupa dalam berbagai bentuknya yang berkaitan dengan manusia, ini harus mendapat perhatian kita semua agar kita tidak termasuk orang yang melupakan apa yang semestinya selalu kita ingat sehingga tidak ada alasan yang bisa diterima oleh Allah swt dalam kehidupan di akhirat nanti.
Lupa Pada Diri Sendiri
Persoalan pokok soal lupa pada diri manusia adalah lupa kepada dirinya sendiri, yakni tidak melakukan kebaikan padahal kebaikan itu ia perintahkan kepada orang lain apalagi pada keluarganya sendiri, ini berarti, ia sudah memahami masalah kebaikan yang bersumber dari wahyu yang datang dari Allah swt. Di dalam Al Qur’an, Allah swt berfirman: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? (QS Al-Baqarah/2:44).
Kepada orang yang melupakan dirinya sendiri dalam arti hanya memerintahkan orang lain melakukan kebaikan sedangkan ia justeru melakukan yang sebaliknya, maka terdapat hadits yang mengemukakan hukuman yang bakal diterima oleh orang yang demikian, dalam hadits riwayat Ibnu Hibban seperti yang dikutif oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dikemukakan apa yang diperlihatkan kepada Rasulullah saw dalam perjalanan Isra dan Mi’raj, hadits tersebut artinya: “Di malam aku diisra’kan, aku bersua dengan orang-orang yang bibir dan lidah mereka digunting dengan gunting-gunting dari api, lalu aku bertanya: “siapakah mereka itu wahai Jibril?”. Jibril menjawab: “Mereka adalah para khatib (penceramah) umatmu yang memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan ketaatan, sedangkan mereka melupakan diri mereka sendiri”.
Orang yang lupa pada diri sendiri bukan hanya orang yang memerintahkan kebaikan tapi tidak melakukan kebaikan itu bahkan melakukan yang amat bertentangan dengan kebaikan, namun orang yang lupa pada diri sendiri adalah orang yang melupakan hakikat keberadaan dirinya untuk beramal shaleh dan mengabdi kepada Allah swt dengan penuh keikhlasan. Allah swt berfirman: Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS Al-Hasyr/59:19).
Ayat ini ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab bahwa lupa kepada diri sendiri adalah tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat buat diri mereka sendiri, baik karena tidak melakukannya sejak semula atau karena melakukannya tetapi disertai dengan pamrih dan ingin dipuji. Mereka itu yang sungguh jauh dari dari segala macam keberuntungan, merekalah yang merupakan orang yang fasik, yang telah keluar secara mantap dari koridor ajaran agama.
Dengan demikian, orang yang lupa adalah orang yang mengabaikan posisi dirinya, lupa bila ia sebenarnya suami bagi isteri yang harus menunjukkan tanggungjawab, lupa sebagai isteri bagi suami yang harus mengurus rumah tangga, lupa orang tua terhadap anak yang harusa menyayangi dan mendidiknya, lupa sebagai anak terhadap orang tua yang harus menghormati dan mentaatinya sampai lupa seorang pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya yang harus memberikan pelayanan yang terbaik, bukan malah mau dilayani, begitulah seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar